PT Pertamina berencana menguasai 30 persen industri petrokimia nasional pada 2017. Perseroan mengaku rencana tersebut baru dipikirkan karena nilai tambah yang besar dari produk petrokimia seperti propylene dan naphtha.
Juru Bicara Pertamina Ali Mundakir mengaku peralihan ke sektor petrokimia memang terhitung telat. Namun sebelum menjadi perseroan, pihaknya memang susah melepaskan diri dari keharusan memproduksi PSK alias premium, solar, dan kerosin (minyak tanah).
"Kilang kita dulu bahasa kasarnya dirancang untuk membangun sebanyak mungkin PSK. Setelah menjadi perseroan, kita terus berpikir apa lagi yang bisa mendatangkan untung, makanya kita ingin kembali tampil menjadi pemimpin industri petrokimia," ujarnya dalam diskusi di Kementerian Perindustrian, di Jakarta Selatan, Jumat (14/12).
Langkah ini dinilai strategis karena
konsumsi produk petrokimia seperti plastik atau polyster di dalam negeri pertumbuhannya sebesar 7 persen, dengan konsumsi 6 kilogram per kapita.Namun, sejak krisis moneter tidak ada lagi kilang pengolahan yaitu aromatic center dan olefin center, sektor hulu krusial yang dapat memproduksi bahan baku petrokimia. Akibatnya impor produk petrokimia pada tahun lalu mencapai USD 32 miliar.
Ali mengaku pihaknya sedang mengupayakan membangun dua kilang pengolahan naphtha cracker dam propylene, dua bahan baku dasar petrokimia, berkapasitas 1 juta ton per tahun pada 2015. Saat ini Olefin Center dalam negeri baru memiliki kapasitas produksi 600.000 ton per tahun.
Lokasinya akan diintegrasikan dengan kilang-kilang yang telah dimiliki Pertamina. "Kilang-kilang kita, seperti di Balongan, Plaju, akan diintegrasikan dengan industri petrokimia.".
Pembangunan kilang pengolahan untuk Olefin bakal dilakukan dengan beberapa investor asing untuk mendukung ambisi Pertamina menguasai sektor hulu petrokimia.
"Ke depan kita sedang dalam proses finalisasi kerja sama dengan perusahaan minyak asing sehingga olefin kita menjadi 1 juta ton per tahun," ungkapnya.